Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengungkapkan besarnya efek samping boikot produk Israel oleh masyarakat Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi. Dia mengatakan, secara umum aksi boikot itu telah menyebabkan penjualan produk fast moving consumer goods atau produk sehari-hari turun hingga 40% hingga saat ini. Polanya, menurut Roy sesuai dengan prinsip pareto dalam manajemen bisnis.
“Ya susu bayi, susu anak, mamin buat lansia, yang merek-merek tertentu yang disebar luaskan di sosmed itu sudah drop 40%. Jadi secara overall omzetnya sudah turun, penjualan turun berarti omzet turun kan, itu sudah terkena hampir 20%,” kata Roy saat ditemui di kompleks perkantoran Bank Indonesia, Jakarta, dikutip Rabu (29/11/2023).
Dia pun memperkirakan, karena dalamnya penurunan penjualan produk FMCG yang masuk kategori makanan dan minuman itu, akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2023 semakin melambat ke level 4,57%-4,6%. Melanjutkan perlambatan pertumbuhan pada kuartal III-2023 di level 4,9%.
Karena selama dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi akan melambat di tengah turunnya konsumsi, ia menilai, secara total pertumbuhan ekonomi 2023 hanya akan di level 4,8%. Sebab, pada paruh kedua 2023, pertumbuhan ekonomi tumbuh di bawah 5% beruntun.
Sebagai catatan, dalam struktur pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) menurut lapangan usaha yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), sumbangan sektor akomodasi dan makanan-minuman hanya sebesar 2,51%. Pada kuartal III-2023 pun pertumbuhan sektor itu masih mencapai 10,90%.
Untuk konsumsi rumah tangga, pada kuartal III-2023 memang sudah melambat ke level 5,06% dari pertumbuhan kuartal II-2023 yang mampu tembus 5,22%. Sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap ekonomi atau PDB merupakan yang paling besar, yaitu 52,62%.
Namun, Roy mengingatkan, jika kondisi dampak boikot itu berlanjut, bukan tidak mungkin pertumbuhan akan benar-benar loyo karena permintaan barang-barang kebutuhan sehari-hari yang terdampak telah turun drastis. Maka, dia menyarankan supaya pemerintah memgambil langkah yang tepat dalam merespons fenomena itu.
“Jadi kembali lagi kita tetap meminta supaya pemerintah segera memberi pernyataan resmi tidak hanya lisan, resmi itu ada tulisannya, ada dalam bentuk surat edaran, ada dalam bentuk ya mungkin tidak hanya satu kementerian tapi kementerian terkait lainnya supaya pemahaman terhadap yang diboikot ini adalah produk yang diproduksi di sana, di Israel,” ujar Roy.
Menurut Roy, pemerintah harus mampu mengedukasi masyarakat bahwa produk-produk yang diproduksi di dalam negeri, dikerjakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, dan telah mampu berkontribusi bagi pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN) tidak harus terdampak pada aksi boikot produk Israel.