Pertamina Menyusun Strategi untuk Mengurangi Ketergantungan Impor Bahan Bakar Minyak (BBM)

by -104 Views

PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Commercial & Trading PT Pertamina Patra Niaga terus berupaya mengurangi ketergantungan terhadap impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Salah satunya dengan menghadirkan produk BBM yang memanfaatkan penggunaan bioetanol.

Pertamina Patra Niaga sendiri sejatinya sudah merilis Pertamax Green 95 yakni BBM ramah lingkungan yang dicampur dengan bioetanol 5%.

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan mengatakan pemanfaatan bioetanol sebesar 5% dalam produk Pertamax Green 95 bisa mengurangi volume impor BBM ke dalam negeri.

“Dengan pengembangan volume dan juga pengembangan di spesifikasi-spesifikasi lainnya dan juga dengan penelitian dan pemahaman lebih dalam lagi kami yakin akan berikan dampak signifikan dalam kemandirian energi dan ketergantungan impor,” tandasnya.

Perihal besaran impor BBM di Indonesia, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan sebagian besar kebutuhan bahan bakar dalam negeri berasal dari impor seperti BBM jenis bensin. Ia pun mencatat, impor BBM jenis bensin mengalami peningkatan dari sekitar 123 juta barel pada tahun 2015 menjadi 138 juta barel pada tahun 2022.

“Ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan bakar tentunya akan membahayakan ketahanan energi nasional kita,” kata Arifin dalam acara Sustainable Mobility: Ethanol Talks 2023, Senin (9/10/2023).

Oleh sebab itu, guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar impor serta untuk mencapai ketahanan energi nasional dan mendukung pembangunan berkelanjutan, pemerintah mempromosikan sumber energi lokal yang berkelanjutan dan mudah diakses, seperti biofuel.

Di sisi lain, penerapan program biofuel juga dimaksudkan untuk menurunkan emisi hingga 31,9% di bawah BAU (Business as Usual) pada tahun 2030.

Hal ini juga untuk mendukung perekonomian dalam negeri yang berbasis pertanian, untuk memenuhi target 23% pangsa energi terbarukan di Nasional Bauran Energi pada tahun 2025, dan menghemat devisa serta menjaga defisit transaksi berjalan.

Menurut Arifin, pemerintah sendiri telah menetapkan program wajib pengembangan bahan bakar nabati melalui Peraturan Menteri pada tahun 2015. Program bahan bakar nabati di Indonesia mencapai tonggak sejarah yang signifikan pada tahun 2008 dengan menerapkan pencampuran 2,5% bahan bakar diesel.

“Sejak saat itu, kecepatan pencampuran secara bertahap meningkat. Pada akhirnya, mulai Februari 2023, kami telah menerapkan mandatori B35 secara nasional,” kata dia.

Arifin mengatakan potensi pengembangan bioetanol dalam negeri dapat dilakukan apabila produksi gula dimaksimalkan terlebih dahulu. Mengingat, mayoritas gula untuk kebutuhan dalam negeri saat ini masih berasal dari impor.

Apabila produksi gula di dalam negeri sudah berlebih, bahan baku tebu selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk produksi bioetanol. “Kalau ini berkembang, kelebihannya bisa kita bikin etanol atau memang ada yang spesial area dedicated untuk memang bangun etanol industri. Kita punya potensi gede,” ujar Arifin.