LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SOETOMO (BUNG TOMO)]

by -74 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Bab Pengalaman I]

Ketika Rakyat Surabaya menerima ultimatum dari pasukan Inggris, Bung Tomo merespons dengan teriakan yang menggetarkan jiwa: ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau mati’. Kualitas kepemimpinan Bung Tomo dapat dirasakan dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada bulan November 1945. Dilaporkan bahwa pidato ini disiarkan terus menerus hingga pemuda Surabaya meraih kemenangan melawan Pasukan Sekutu. Mungkin tanpa pidato ini dan keterampilan Bung Tomo sebagai seorang orator, Indonesia tidak akan menjadi bangsa merdeka seperti sekarang.

Pada tanggal 10 November 1945, dan selama sepuluh hari berikutnya, rakyat Surabaya berjuang dalam pertempuran sengit di dan sekitar Surabaya, yang sekarang dikenal sebagai Kota Pahlawan.

Ketika seseorang membaca tentang catatan sejarah pada hari-hari itu, tidak bisa tidak merasa kagum dan bangga.

Pada awal berdirinya Republik, ketika Indonesia masih minim persenjataan, rakyat, terutama para pemuda arek-arek Suroboyo, memilih untuk tidak tunduk pada ancaman dan ultimatum yang dikeluarkan oleh pihak yang menang dalam Perang Dunia II.

Pada waktu itu, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Jika dalam waktu 24 jam, para pemuda Surabaya tidak menyerahkan senjata dan meninggalkan kota, Tentara Inggris akan menghancurkannya dengan kekuatan yang luar biasa dari tank, kapal perang, dan pesawat terbang mereka.

Kita bisa membayangkan betapa beratnya pernyataan tersebut. Ultimatum ini diberikan oleh pasukan yang baru saja memenangkan Perang Dunia II. Namun, nenek moyang kita, dalam usia yang masih sangat muda, menolak untuk terintimidasi. Mereka bahkan tidak bergeming. Mereka menolak ultimatum yang sombong tersebut.

Sebaliknya, mereka berteriak ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau Mati’. Mereka memilih untuk melawan pasukan Inggris daripada menyerah dan tunduk kepada mereka.

Arek-arek Suroboyo, para pemuda Surabaya, sungguh patut kita hormati. Negara-negara yang merendahkan kita sebagai bangsa lemah, terbelakang, dan malas menyaksikan bagaimana orang Indonesia tidak menyerah karena ancaman, intimidasi, dan kehadiran pasukan asing.

Pada tanggal 10 November dan beberapa hari berikutnya, Tentara Inggris membombardir Surabaya dari segala arah. Akibatnya, puluhan ribu orang Indonesia kehilangan nyawa. Satu perkiraan menempatkan jumlah korban lebih dari 40.000 jiwa. Namun, arek-arek Suroboyo, para pejuang kita, menolak menyerah, meskipun mengalami banyak korban. Meskipun jenazah berserakan di jalan-jalan dan selokan, dan sungai-sungai berwarna merah dengan darah. Di Surabaya, para pejuang kita, generasi muda kita, didukung oleh seluruh rakyat Surabaya, terus berjuang dengan penuh keberanian di tengah hujan peluru dan tembakan artileri berat.

Dalam pertempuran ini, selain Gubernur Suryo, yang ceritanya telah saya ceritakan sebelumnya, dan Hario Kecik, yang akan saya ceritakan, Bung Tomo menjadi sosok sentral dan berpengaruh yang memimpin dari garis depan pertempuran.

Soetomo, atau yang banyak panggil Bung Tomo, lahir di Surabaya tahun 1920. Di masa mudanya, dia adalah seorang jurnalis lepas dengan surat kabar Soeara Oemoem, Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.

Pada tahun 1944, dia dipilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru dan administrator Pemuda Republik Indonesia di Surabaya. Selain itu, pada bulan Oktober 1945, Bung Tomo juga memimpin Front Perlawanan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Inilah awal dari keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November. Dengan posisinya, dia bisa mengakses stasiun radio yang memainkan peran penting dalam menyiarkan orasinya yang penuh semangat untuk membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang dan mempertahankan Surabaya.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo dapat dirasakan dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada bulan November 1945. Dilaporkan bahwa pidato ini bahkan disiarkan terus menerus, dan tidak berhenti hingga para pemuda Surabaya mencapai kemenangan melawan Pasukan Sekutu:

“Bismillahirrohmanirrohim… Merdeka!!!
Saudara-saudara, rakyat Indonesia seluruhnya, khususnya rakyat Surabaya. Kita semua tahu, hari ini Pasukan Bersenjata Inggris telah menyebarkan pamflet dengan ancaman kepada kita semua.
Sebelum batas waktu yang mereka tentukan, kita diminta menyerahkan senjata yang telah kita rebut dari Tentara Jepang. Mereka telah menunjukkan kepada kita untuk mendatangi mereka dengan tangan terangkat.
Mereka telah menyuruh kita mendekati mereka dengan bendera putih; untuk menunjukkan bahwa kita menyerah kepada mereka.
Saudara-saudara, dalam pertempuran-pertempuran masa lalu, kita telah menunjukkan bahwa orang Indonesia Surabaya, pemuda-pemuda Maluku, pemuda-pemuda Sulawesi, pemuda-pemuda Bali, pemuda-pemuda Kalimantan, pemuda-pemuda Sumatra, pemuda-pemuda Aceh, pemuda-pemuda Tapanuli, dan pemuda-pemuda Surabaya sendiri, dalam pasukan masing-masing, dengan tentara rakyat yang terbentuk di desa-desa, telah membangun pertahanan yang tak tergoyahkan. Mereka telah menunjukkan kekuatan yang mampu mengusir musuh dari mana-mana.
Saudara-saudara, musuh-musuh kita telah menggunakan taktik licik. Mereka mengundang Presiden kita dan pemimpin lainnya ke Surabaya, dengan harapan kita tunduk dan meninggalkan perjuangan kita. Tetapi di saat yang bersamaan, mereka membangun kekuatan mereka. Dan sekarang bahwa mereka kuat, inilah yang terjadi.”
“Saudara-saudara dan semua kita, rakyat Indonesia Surabaya, akan menerima tantangan Pasukan Inggris. Dan jika pemimpin Pasukan Inggris di Surabaya ingin mendengar jawaban rakyat Indonesia, jawaban pemuda Surabaya, dengarkanlah dengan seksama.
Ini adalah jawaban kami. Ini adalah jawaban rakyat Surabaya. Ini adalah jawaban pemuda Indonesia kepada kalian semua!
Hey, Pasukan Inggris! Kalian menyuruh kami membawa bendera putih dan menyerah kepada kalian. Kalian mengatakan kepada kami untuk membentuk barisan tunggal dan mengangkat tangan kami di depan kalian. Kalian mengatakan kepada kami untuk meletakkan senjata yang kami rebut dari Tentara Jepang dan menyerahkannya kepada kalian.
Kalian memberitahukan bahwa kalian akan menghancurkan kami dengan semua kekuatan militer kalian jika ultimatum kalian tidak dipenuhi. Ini adalah jawaban kami:
Selama kita, banteng Indonesia, masih memiliki darah merah dalam tubuh kita yang bisa kita gunakan untuk membuat selembar kain putih-merah, kita tidak akan menyerah. Kami menolak untuk menyerah kepada siapapun. Rakyat Surabaya, siapkan diri untuk situasi yang berbahaya ini! Tapi saya memperingatkan kalian sekali lagi: Janganlah melontarkan peluru pertama. Hanya saat kami ditembak, barulah kami akan membalas menembak mereka. Kami akan menunjukkan kepada mereka bahwa kami adalah orang-orang yang benar-benar merdeka.
Dan bagi kita semua, saudara-saudara, lebih baik kita hancur daripada dijajah. Semboyan kita tetap: Merdeka atau Mati! Untuk bebas atau binasa!
Dan kita memiliki kepercayaan bahwa, pada akhirnya, kemenangan akan menjadi milik kita, karena Allah berada di pihak kami. Percayalah, saudara-saudara. Allah akan melindungi kita semua. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!”

Source link