JENDERAL TNI (PURN.) AGUM GUMELAR
Saya mengenal Pak Agum sebagai seorang perwira yang sangat cerdas dengan fisik yang baik. Dia juga seorang atlet yang karismatik. Dia ramah dan sangat baik dalam mendapatkan simpati dari bawahannya, atasan, rekan kerja, dan masyarakat umum. Pak Agum memiliki keahlian dalam intelijen operasional Sandi Yudha. Dia memiliki gaya kepemimpinan yang persuasif. Dia adalah orang yang teguh pada prinsipnya, dan dia tidak keberatan untuk mengkritik atasannya, bahkan jika itu berarti mengorbankan kariernya. Pak Agum pernah menjadi komandan saya sebelum dia menjadi komandan KOPASSUS. Saat itu, saya menjabat sebagai Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus Grup 3 (Pusdikpassus). Namun, saya sudah mengenalnya sebelum saya bergabung dengan militer. Dia merupakan keluarga dari seorang perwira KOPASSUS Kapten Margono, yang pernah menjadi ajudan ayah saya saat ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan dalam Kabinet Pak Harto pada tahun 1968. Saya mengenal Pak Agum sebagai seorang perwira yang sangat cerdas dengan fisik yang baik. Dia seorang atlet dan seorang pria yang karismatik. Dia ramah dan sangat baik dalam mendapatkan simpati dari atasannya, rekan-rekannya, dan masyarakat umum. Pak Agum menguasai Sandi Yudha (intelijen tempur), dan dia memiliki gaya kepemimpinan yang persuasif. Dia adalah orang yang teguh pada prinsipnya, dan dia tidak ragu untuk mengkritik atasannya, bahkan jika itu berarti mengorbankan pekerjaannya. Saya yakin saya mungkin pernah memiliki banyak kesalahpahaman dengannya dalam hidup kita karena ada beberapa masalah di mana kita tidak selalu sependapat. Namun, secara objektif, saya menganggap Pak Agum sebagai tokoh kepemimpinan yang patut dihormati bagi Indonesia.
MAYOR JENDERAL TNI (PURN.) YUNUS YOSFIAH
Pengalaman saya tentang kepemimpinan Pak Yunus Yosfiah adalah bahwa dia selalu tenang, tidak panik, tidak gugup. Kepemimpinannya adalah contoh dari kendali diri. Sekali seorang komandan panik, pingsan, atau gagal bertindak saat kontak dengan musuh, dia akan kehilangan otoritasnya untuk selamanya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa pertukaran tembakan pertama sangat menentukan. Pak Yunus juga merupakan sosok yang tak kenal takut. Dia akan melakukan segala sesuatu untuk meraih kemenangan dan tidak menerima alasan apapun. Dia bertekad dan sangat keras kepala. Dia sering dianggap terlalu keras terhadap bawahannya. Sebelum dia menjadi seorang jenderal, dia akan memeriksa pasukannya sendiri, dan segalanya harus dalam keadaan tertib. Siapapun yang melakukan kesalahan akan diminta untuk berjalan dengan ransel berat atau melakukan setidaknya 18 pull-up. Memang, kehidupan di militer itu sulit. Medan tempur penuh dengan kengerian, kejutan, dan rasa takut. Jika kita tidak terbiasa menghadapi kondisi seperti itu, kecenderungan untuk panik, gugup, lumpuh, dan bingung sangat tinggi. Persiapan yang keras dapat menyelamatkan nyawa.
Pertama kali saya mengenal Pak Yunus Yosfiah adalah selama operasi di Timor Timur, di mana dia bertugas sebagai Komandan Tim Khusus dengan kode nama Nanggala 10. Tim Khusus ini dibentuk karena operasi pada Desember 1975-Januari 1976 tidak berjalan secepat yang diharapkan. Maka dibentuklah tim dari KOPASSUS sebagai pasukan pukul dengan mobilitas tinggi dan semangat tinggi. Pak Yunus lah yang memimpin tim ini. Setelah lulus pelatihan komando pada tanggal 20 Desember 1975, para Letnan baru angkatan lulusan 1974 dari AKABRI, termasuk diri saya, resmi bergabung dengan Grup 1 Para-Komando/Kopassandha. Pada tanggal 7 Desember, ketika kami masih berada di Batujajar, kami mendengar bahwa Pasukan Baret Merah dan Baret Hijau dari Kopassandha serta Brigade 17 dan 18 telah terjun ke Timor Timur. Beberapa senior kami kehilangan nyawanya selama penugasan tersebut. Begitu kami lulus pelatihan komando, kami segera melapor ke Markas Kopassandha di Cijantung, Jakarta Timur. Setelah itu, kami hanya diberi waktu istirahat selama dua minggu. Kami memulai pada bulan Januari. Grup 1 Para-Komando kosong karena hampir semua pasukan sedang bertugas di Timor Timur. Hanya ada satu kompi siaga yang terdiri dari pasukan sisa. Saat itu, saya baru saja mulai menjabat sebagai Komandan Peleton (Danton). Letnan Satu Infantri Mujain menjadi Komandan Kompi (Danki). Dia berasal dari Secapa. Dia pernah terlibat dalam operasi Trikora – sebuah mobilisasi rakyat untuk merebut dan membebaskan Irian Barat – di bawah kepemimpinan Pak Benny Moerdani. Pak Benny menerima Bintang Sakti, yang setara dengan Medali Kehormatan AS, atas jasanya dalam operasi Trikora. Sekitar bulan Februari, HQ memberitahukan kepada kami bahwa tim khusus akan dibentuk, terdiri dari Grup 1, Grup 2, dan Detasemen Markas Besar. Pasukan akan dipimpin oleh perwira yang baru lulus pelatihan komando, yaitu Letnan Pertama angkatan lulusan 1971 dan Letnan Dua angkatan 1974. Letnan Pertama pada saat itu adalah Letnan Infantri Yotda Adnan, Letnan Infantri Suwisma, Letnan Infantri Syahrir, Letnan Infantri Untung Setiawan, Infantri Letnan Zarnubi, dan Letnan Pertama CHB Harjono. Letnan Satu tersebut bertugas sebagai Komandan Unit dari unit berkekuatan 20 orang. Pak Yunus Yosfiah ditugaskan untuk memimpin Tim Khusus. Itulah bagaimana saya mengenal Pak Yunus. Dia langsing, berpostur sedang, tidak terlalu tinggi. Dalam kepemimpinannya, Pak Yunus selalu memberikan contoh yang baik. Filosofi ing ngarsa sung tulada (memimpin dari depan) sangat menggambarkan dirinya. Ranselnya sama beratnya dengan ransel para bawahannya. Misalnya, untuk misi 14 hari, masing-masing dari kami membawa 28 kaleng ration T2. Setiap kaleng beratnya sekitar 300 gram, sehingga total sekitar 9 kg. Ini belum termasuk peluru, pakaian cadangan, dan lain-lain. Beban total ransel kami sekitar 18-20 kg. Bahkan lebih berat karena kualitas ransel saat itu tidak sebagus sekarang. Ransel itu sendiri sudah cukup berat. Dengan kondisi seperti itu, kami tidak bisa membawa jaket dan barang lainnya. Meskipun sebagai Komandan kami, Pak Yunus membawa beban yang sama beratnya dengan kami. Tindakan sederhana ini lebih berharga daripada jam-jam ceramah. Jika seorang pemimpin memikul beban yang sama beratnya dengan para bawahannya, para bawahannya akan taat dan setia. Jadi, pemimpin dapat menghemat banyak ceramah panjang dengan hanya memberi contoh yang patut diikuti. Pernah suatu saat, pada tahun 1984, saya menemani Pak Yunus dalam sebuah maraton yang dimulai dari Senayan di Jakarta Selatan. Dia adalah seorang Kolonel sementara saya Kapten. Ketika kami sampai di Harmoni di Jakarta Pusat, seorang teman saya, seorang perwira, meminta izin untuk ke kamar kecil, tetapi dia tidak kembali. Sejujurnya, saya juga ingin kabur. Tetapi bagaimana saya bisa ‘menghilang’ sementara Pak Yunus berlari di samping saya? Itulah salah satu karakteristik Pak Yunus. Pengalaman kepemimpinan saya tentang dia adalah ketenangan, selalu tenang, tidak panik, tidak kelihatan gugup. Itu adalah pelajaran bagi kita semua. Sekali seorang komandan panik, menjadi gugup, pingsan, atau gagal bertindak saat kontak dengan musuh, dia akan kehilangan otoritasnya untuk selamanya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa pertukaran tembakan pertama sangat menentukan. Pak Yunus juga merupakan prajurit yang tak kenal takut. Dia akan melakukan segala sesuatu untuk meraih kemenangan dan tidak menerima alasan apapun. Pak Yunus bertekad dan sangat keras kepala. Dia sering dianggap terlalu keras terhadap bawahannya. Sebelum dia menjadi jenderal, dia akan memeriksa pasukannya, dan segalanya harus dalam keadaan tertib. Siapapun yang melakukan kesalahan akan diminta untuk berjalan dengan ransel berat atau melakukan setidaknya 18 pull-up. Jika kita tidak terbiasa menghadapi kondisi seperti itu, kecenderungan untuk panik, gugup, lumpuh kena rasa takut dan bingung sangat tinggi. Saya harus mengatakan ini berdasarkan pengalaman salah satu senior saya. Orang ini sangat pintar di AKABRI, sangat cerdas akademis, tetapi, tidak seperti Pak Yunus, dia membeku di medan pertempuran. Dia harus dievakuasi dari medan pertempuran. Namun, saya merasa bahwa saya telah mendapat manfaat dari memiliki seorang komandan seperti Pak Yunus di awal karier saya sebagai seorang perwira.
MAYOR JENDERAL TNI (PURN.) SOEGITO
Seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah anak buahnya, dan itulah tempat yang selalu diisi oleh Pak Soegito. Dia selalu terlibat…