Oleh: Prabowo Subianto [dikutip dari “Transformasi Strategis Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045”, halaman 45, Edisi softcover ke-4]
Pada tahun 2020, ketika dunia berjuang dengan pandemi COVID-19, tidak ada yang memperkirakan bahwa perang baru bisa pecah selama krisis seperti itu.
Namun, sebelum pandemi berakhir, tepatnya pada 24 Februari 2022, konflik bersenjata besar meletus di Eropa antara Rusia dan Ukraina. Konflik ini mengganggu stabilitas harga pangan dan energi global, karena kedua negara tersebut merupakan produsen penting dari komoditas-komoditas penting tersebut.
Bersama, Rusia dan Ukraina menyumbang 27% dari produksi gandum dunia. Indonesia, yang mengimpor 11 juta ton gandum setiap tahun untuk mie instan, roti, dan kebutuhan lainnya, juga mendapatkan sebagian besar gandumnya dari kedua negara tersebut. Akibat perang yang mempengaruhi produksi dan keselamatan maritim, Indonesia dan negara-negara pengimpor gandum lainnya terpaksa mencari sumber alternatif.
Di samping gandum, Rusia juga merupakan salah satu eksportir utama bahan baku untuk pupuk. Rusia menghasilkan 19% Kalium dunia, 14% Fosforus, dan 16% Nitrogen. Konflik antara Rusia dan Ukraina akibatnya membuat harga pupuk global meningkat.
Dan kemudian ada energi. Rusia adalah eksportir minyak dan gas terbesar ketiga di dunia. Konflik yang berkepanjangan di Ukraina, sekarang diperparah oleh konflik bersenjata di Palestina, bisa lebih meningkatkan harga pangan dan energi dengan mengganggu kelancaran rantai pasok global.